Huh! POL PP!
By Haryanto, S.Pd
Aldi menaiki tapak-demi tapak anak tangga jembatan penyeberangan dengan lesu. Udara panas yang membakar dan perut yang keroncongan bernyanyi bercampur dengan aroma seribu satu manusia yang lalu lalang kebingungan dalam permainan dunia di kota pempek Palembang. Dua orang gadis abg yang berjalan di depannya mampir diotaknya dengan bau parpum impor yang menggoda dan pinggul yang bergoyang dalam balutan celana jeans ketat. “Astaghfirullah..” keluh Aldi. Momen-momen seperti inilah yang seringkali membuatnya berfikir mungkin akan lebih baik andai ia hanyalah sebongkah batu yang tidak melihat, tidak mencium, dan tidak merasa. Betapa tidak, kekiri ia melihat yang ada wanita setengah telanjang, kekanan juga ada, kedepan lebih lagi dan kebelakang ada ratusan wanita seperti berlari mengejar, menari-menari dan memaksanya untuk melihat atau sekedar mencium aroma menggoda dari tubuh yang hanya terbungkus seadanya. Tidak ingin terlibat lebih lama lagi dalam pemandangan yang menyesatkan itu, Aldi berusaha mendahului mereka. Tapi banyaknya orang yang naik dan turun bersamaan membuat ruas tangga yang besar ini terasa sempit.
Tinggal tiga tapak anak tangga lagi dan ia berharap dapat terbebas segera dari racun dunia ini. Tapi, “upps!” seorang bapak-bapak memaksa lewat kedalam barisan turun naik itu. Ibu muda ysng berjalan disebelah Aldi dengan sigap memeluk tas kecil yang terselempang dibahunya, “copett!!” teriaknya latah. Aldi mengexplor folder-folder dalam otaknya dengan cepat. Wajah itu tidak asing dalam ingatannya. Di jembatan ini!! Yah, dijembatan ini. Setiap kali ia lewat bapak itu sedang duduk menekuri satu kakinya yang buntung terbalut perban kumal. Berjejer disebelahnya ibu-ibu separoh baya dan beberapa ibu muda dengan anak kecil dipangkuannya. Dan disudut jembatan seorang pemuda buta menatap orang-orang lalu lalang didepannya dengan mata putihnya yang kosong mengharap uang recehan jatuh kedalam kaleng plastiknya.
Tidak salah lagi! Itu bapak pengemis yang biasa mangkal diatas jembatan ini. Tapi kenapa? Kenapa dengannya tadi? Aldi menoleh kebelakang dimana bapak pengemis itu sudah berhasil menuruni tangga penyeberangan. Kain sarung yang biasa dipakainya dijinjingnya tinggi hingga nampak seluar pokok nya yang berwarna putih sebatas lutut. Bapak itu berlari gagah tanpa alas kaki. “Luar biasa.” Guman Aldi. “Bapak itu tidak buntung lagi. Keajaiban apakah yang menyembuhkan kakinya?” Bapak pengemis itu berhenti didepan sebuah pusat perbelanjaan tidak jauh dari jembatan dimana Aldi berdiri. Terengah-engah bapak itu melongok keseberang jalan dan melambai-lambaikan tangannya dan meloncat-loncat sambil berteriak-teriak tak jelas. Aldi mengikuti arah pandangan bapak tersebut. Diseberang jalan nampak sekitar delapan atau sepuluh orang berseragam abu-abu meloncat turun dari mobil pick up putih bertuliskan Pol PP Kota Palembang.
“Huh! Pol PP!” guman Aldi seraya menyeka butir-butir keringat yang menggantung diujung janggutnya yang tumbuh tak rata. “Sunnah Nabi.” Kata guru agamanya dulu. Sejak itulah ia rajin mengoleskan minyak firdaus dan menggosok-gosokkan ke dagunya dengan harapan ia dapat memiliki janggut seperti guru nya. Aldi menyelesaikan tiga anak tangga yang tertunda oleh bapak pengemis tadi. Dua gadis abg tadi sudah tak nampak lagi didepannya bersama dengan aroma parfum Jessica Parker yang kini berganti dengan aroma pesing menyengat dari sisi-sisi jembatan yang berteralis kuning dan merah. Beberapa helai kertas koran berserakan diatas badan jembatan. Sepi dan lengang tanpa keberadaan para gepeng yang biasa menggoyangkan kaleng uang recehan kearah orang-orang yang lewat di atas jembatan. Sepasang muda-mudi menggenggam tangan mesra berjalan kearahnya. Aldi membuang muka tak peduli.
Aldi merogoh kantong celananya untuk melihat jam di hp nya. Pukul 13:08. Masih ada 3 jam lagi waktunya sebelum tepat pukul 16:00 dimana ia ada janji dengan dosen pembimbing skripsinya di rumahnya di jalan Kapten Cek Syeh.
Dibawah jembatan beberapa orang kernet bis dan angkot berteriak mencari penumpang. Aldi membelokkan langkahnya menuju ke Toko Buku Utama. 3 jam ini akan ia habiskan dari toko buku ke toko buku. Sebenarnya ia masih harus kekampus lagi untuk menyerahkan syarat-syarat ujian skripisi. Namun ongkos bis yang mahal memaksanya untuk tidak bolak-balik dari kampus ke rumah dosennya yang berada tidak jauh dari pasar kota.
***
Sambil berjalan sudut mata Aldi berputar mencari penjual asongan yang biasa berjejer rapi disepanjang jalan Jend.Sudirman. Rokok! Ia butuh rokok. Mulutnya terasa asam. Seingatnya ia masih punya recehan di saku tas besarnya. Pandangannya tertegun pada mobil pick up putih yang dilihatnya dari atas jembatan tadi. Diatas mobil itu sudah ada lima buah gerobak dagang asongan dan sekitar 7 orang ibu-ibu dan anak-anak usia 15 an menangis merayu-rayu pada empat anggota pol pp yang berdiri disamping mobil itu. Dari depan sebuah toko sepatu, muncul dua orang anggota Pol PP yang sedang asyik menyeret sorang pemuda tanggung yang meronta-ronta dengan kotak rokok yang terselempang dipinggangnya menuju kearah mobil pick up putih bertuliskan Pol PP Kota Palembang. “Huh! Pol PP!” guman Aldi. Siapa yang salah dan siapa yang benar. Mereka para pengasong butuh bekerja untuk makan. Sedang Pol PP bekerja menjalankan tugas menjaga ketertiban kota. Aldi menggeleng-geleng tak mengerti. Mulutnya komat-kamit. Ia mencoba berdialog dengan batinnya, bertanya jawab dengan trotoar dan tepi jalan yang menjadi lahan parkir mobil-mobil mewah, bertukar fikiran dengan gedung-gedung megah dan toko-toko besar milik para pendatang. Inikah yang dulu ditakutkan ratu balkis ketika dia berkata: "Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu negeri, niscaya mereka membinasakannya, dan menjadikan penduduk nya yang mulia jadi hina; dan demikian pulalah yang akan mereka perbuat (An-Naml: 34).
***
Aldi meraih sebuah koran lokal yang dipajang di rak depan toko buku utama. Dihalaman depan tampak gambar kerumunan berseragam Pol-PP yang berhadapan dengan puluhan massa yang mengacungkan tinju dan pentungan. Sebaris kalimat dibawah foto itu menerangkan peristiwa kerusuhan yang terjadi di daerah Jakarta antara Pol-PP dengan warga terkait kasus penyegelan lokasi perumahan kumuh yang akan dijadikan taman kota.
Setetes air bening jatuh menimpa kertas koran yang dipegangnya. Devide et impera kah ini? Kalau iya, siapakah kompeni itu? Perlahan ditekuknya koran itu dan segera membayarnya ke kasir. Dibenaknya dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan entah kepada siapa. Apa yang bisa diperbuatnya atas keadaan ini?
***
The writer is FLP er 32 Ogan Ilir, Sumatera Selatan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar